Rabu, 20 November 2024

Kenapa Selera Musik Kita Berbeda?

 

Kenapa Selera Musik Kita Berbeda? Apa yang Bikin Kita Punya Preferensi?


Naskah ini awalnya lahir dari penasaran membaca komentar di kolom Instagram Pophariini. Pada postingan yang bertanya tentang cover band Indonesia favorit misalnya, beberapa orang memberikan komentar bila band-band yang disebut narasumber adalah band obscure yang tidak banyak dikenal. Di postingan yang lain, beberapa komentar netizen menyebut bahwa selera musik band narasumber Pophariini dianggap terlalu edgy.

Edgy di sini merujuk pada musik-musik yang tak biasa, berbeda, jarang didengar, atau bahkan sama sekali asing. Pada postingan yang lain netizen menulis “Tumben ga nyebutin band aneh-aneh yang lagunya kek gimana.” Tapi apa sih yang edgy dan berbeda ini? Persoalan edgy, atau yang paling kiwari, skena, memang pelik. Selalu ada gap antara pengetahuan tentang musik dari para pendengar. Lantas mengapa yang tak kita ketahui dengan mudah dilabeli edgy, atau dulu disebut sebagai: hipster?

Setelah coba ditelusuri, beberapa band yang disebut edgy pada postingan “Cover album band Indonesia favorit”, ternyata ya bukan band yang benar-benar asing. Setidaknya band seperti The Kuda, Dom65, Kelelawar Malam, Swellow, Texpack, Danilla  atau Raja Kirik, bukan band yang muskil didengar atau asing sama sekali. Kelelawar Malam terbentuk sejak 2007, Dom 65 sejak 1997, The Kuda sejak 2009. Jadi mereka ada dan setidaknya sudah membuat musik lebih dari satu dekade. 

Beberapa komentar netizen menyebut bahwa selera band narasumber Pophariini dianggap terlalu edgy. Lantas mengapa yang tak kita ketahui dengan mudah dilabeli edgy, atau dulu disebut sebagai: hipster?

Untuk band dengan reputasi, karir, dan perjalanan lebih dari 10 tahun, jelas mereka memiliki fanbase tersendiri, tidak besar, tapi jelas memiliki penggemarnya. Tentu band bisa berkembang menjadi besar atas pilihan (atau keberuntungan) mereka sendiri. Beberapa band memilih jalur distribusi mandiri dengan penggemar terbatas, sementara yang lain memilih jalur distribusi populer dan mendapatkan akses ke pendengar yang lebih luas. 

Meski demikian, terlepas dari jalur distribusi yang dipilih oleh musisi atau band, akses terhadap musik mereka juga sangat tergantung dengan selera dari pendengarnya. Seseorang bisa tinggal di pucuk gunung Semeru atau di tepi Pulau Bawean dan mendengarkan Avhath, sementara yang tinggal di Jakarta Selatan beserta segala venue konser yang ada di sekitarnya, sama sekali tidak tahu siapa itu Masakre.

Selera bisa jadi penentu seseorang dalam mendengarkan musik, artinya preferensi atau kecenderungan seseorang terhadap jenis, genre, atau gaya musik tertentu menentukan apa yang mereka ingin dengar. Proses pembentukan selera musik sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor berbeda. Misalnya paparan terhadap berbagai jenis musik sepanjang hidup kita dapat mempengaruhi selera musik kita. 

Proses pembentukan selera musik sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor berbeda. Misalnya paparan terhadap berbagai jenis musik sepanjang hidup kita dapat mempengaruhi selera musik kita.

Mendengarkan berbagai genre musik, menghadiri konser atau festival musik, dan berinteraksi dengan musik melalui media seperti radio, televisi, atau platform streaming, dapat membentuk preferensi musik kita. Aris Setyawan, penulis dan etnomusikolog, menyebut bahwa lingkungan masih menjadi faktor paling vital dalam pembentukan selera musik, terutama pada tahapan awal ketika kita mendengarkan untuk pertama kali.

“Jadi di mana lingkungan kita menentukan selera musik kita. Misalnya orang yang tinggal di Yogyakarta di mana skena musik independennya gede tentu selera musiknya akan berbeda dengan let say orang yang tinggal di lereng Lawu dan lingkungan sekitarnya ya nggak ada skena-skena-an kayak di kota besar gitu,” katanya. 

Aris juga menyebut akses atau privilese juga dapat menentukan selera musik seseorang. Orang yang punya privilese akses ke musik yang luas, tentu selera musiknya akan lebih beragam ketimbang orang yang tidak punya. “Contohnya ya di era sebelum internet rame misalnya, orang2 berprivilese bisa punya akses beli rilisan musik dalam berbagai format (kaset, CD, vinyl), jadi mereka bisa membentuk selera musik mereka dengan mudah. Beda dengan yang enggak berprivilese ya selera musiknya dibentuk dari media yang bisa mereka akses misalnya TV atau radio,” katanya.

Akses atau privilese juga dapat menentukan selera musik seseorang. Orang yang punya privilese akses ke musik yang luas, tentu selera musiknya akan lebih beragam ketimbang orang yang tidak punya.

Muhammad Yazidka Al Irhan, mahasiswa berusia 18 tahun dari Bekasi, mengaku belakangan ini gemar mendengarkan musik-musik Hardcore. Band seperti Dazzle, Speed, Devil Despize, Prejudize, dan Defy yang sedang populer di Indonesia. “Saya tidak tahu sama sekali (soal musik hardcore), nah saya iseng cari lagu seperti itu awal mulanya saya dengerin lagu Drowning in Hate dari band Keep it Real (Malang),” katanya.

Yazid sendiri mengaku berasal dari keluarga konservatif yang memegang nilai teguh agama. Ibunya agak kebaratan jika Yazid mendengar musik yang kencang. Menariknya dari keluarga sendiri, sang Ayah adalah pihak pertama yang memperkenalkan Yazid dengan musik keras. “Dari dulu emang bapak saya suka nyetel band-band adem atau kadang kaya Metallica gitu mas biasalah metal bapak-bapak, sampe sekarang saya bisa sendiri beberapa intro gitarnya karna emang enak didengar,” katanya.

Pernyataan Yazid ini jadi menarik karena beberapa penelitian memang menunjukkan bahwa selera musik dapat terkait erat dengan identitas dan emosi kita. Misalnya, seseorang yang tumbuh dalam budaya tertentu atau memiliki latar belakang yang kaya dengan tradisi musik tertentu mungkin cenderung menyukai musik yang terkait dengan identitas budaya mereka. Selain itu, musik juga memiliki kekuatan emosional yang kuat, dan kita cenderung tertarik pada musik yang mencerminkan atau merangsang emosi yang kita rasakan.

Beberapa penelitian memang menunjukkan bahwa selera musik dapat terkait erat dengan identitas dan emosi kita.

Neo Tegar, 18 pekerja garmen asal Malang, juga serupa. Lahir dari keluarga yang konservatif, ia memiliki ibu yang keberatan jika Tegar mendengarkan musik hardcore atau punk. “Mungkin mama tau seluk beluknya orang yang suka nonton konser musik yang kenceng jadinya mama ngelarang, tapi aku selalu ngasih pengertian kalo aku ngga kaya yang mama ku pikir,” katanya.

Tegar menyebut bahwa perkenalannya dengan musik Indonesia terutama punk dan hardcore malah berasal dari keluarga. Kakaknya memiliki CD Pee Wee Gaskins. Ibunya sendiri, meski keberatan Tegar menonton konser musik, ternyata memperkenalkannya dengan Linkin Park. Meski demikian saat ini, ia memiliki selera musik yang berbeda dari yang diperkenalkan kakak dan Ibunya. Menariknya selera musik yang berbeda ini kerap jadi bahan ledekan.

Perkenalannya dengan musik Indonesia terutama punk dan hardcore berasal dari keluarga. Kakaknya memiliki CD Pee Wee Gaskins. Ibunya sendiri, meski keberatan Tegar menonton konser musik, ternyata memperkenalkannya dengan Linkin Park.

Tegar menyebut bahwa ia pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan karena dianggap ikut-ikutan ketika mendengarkan genre hardcore. Ia sendiri tak merasa keberatan dan memusingkan hal itu. “Kebetulan temen-temen satu genre kak, ada poppunk nya ada juga yang hardcore. Kalo aku sendiri ngga ngerasa edgy ataupun indie kak, aku lebih ke bodoamat tentang apa yang ada di sosmed,” katanya.

Penelitian akademik terbaru oleh layanan streaming musik global Deezer menemukan bahwa orangtua memiliki pengaruh besar terhadap selera musik anak-anak mereka. Penelitian ini mengungkapkan bahwa ada periode kritis sebelum usia sepuluh tahun di mana orangtua dapat membentuk selera musik anak.

Deezer menggabungkan survei terhadap 2.000 orangtua di Inggris yang memiliki anak di bawah usia 18 tahun dengan tinjauan literatur yang dilakukan oleh Dr. Hauke Egermann dari Departemen Musik di Universitas York. Hasilnya menjelajahi usia di mana orangtua dapat memiliki pengaruh terbesar terhadap hubungan anak-anak mereka dengan musik.

Penelitian akademik terbaru oleh layanan streaming musik global Deezer menemukan bahwa orangtua memiliki pengaruh besar terhadap selera musik anak-anak mereka.

Menurut survei, hampir tiga perempat orangtua (72%) secara aktif mencoba menyukai lagu favorit mereka kepada anak-anak mereka, dengan ayah (78%) lebih cenderung daripada ibu (69%) dalam membentuk selera musik anak-anak mereka. Penelitian akademik ini menyarankan bahwa memiliki selera musik yang luas penting untuk sosialisasi dan persahabatan, karena orang yang memiliki preferensi musik serupa cenderung membentuk ikatan. 

Sembilan dari sepuluh (90%) orangtua menganggap penting bahwa anak mereka mendengarkan berbagai macam musik sejak usia dini. Lebih dari setengah responden (57%) mengungkapkan bahwa mereka telah membagikan berbagai genre musik kepada anak-anak mereka untuk mengedukasi mereka tentang berbagai genre musik yang ada.

Zahwa Islami, psikolog, menyebut seiring perkembangan waktu seseorang akan makin banyak terpapar oleh musik. Di situ selera akan mulai dibentuk. Jika pada awalnya, ketika remaja misalnya, seseorang mendengarkan musik yang populer di kalangan sesamanya, seiring bertambah usia. 

Zahwa Islami, psikolog, menyebut seiring perkembangan waktu seseorang akan makin banyak terpapar oleh musik. Di situ selera akan mulai dibentuk.

“Menurutku, sesuatu yang disukai secara pribadi itu akan cenderung stabil. Misalnya, suka tentang pembahasan topik politik, vibes lagu yang dansa-dansa, rock atau metal. Karena gimanapun, musik kan membawa memori juga ya. Bisa jadi, makin tua, masih suka sama lagu jaman mudanya karena brings memories,” katanya.

Pada praktiknya setiap individu memiliki preferensi pribadi yang unik. Beberapa orang mungkin menyukai musik dengan melodi yang kompleks dan lirik yang dalam, sementara yang lain lebih suka musik dengan irama yang energik dan riang. Selera musik kita juga dapat berkembang seiring waktu seiring dengan perubahan dan perkembangan pribadi kita.

“Pembentukan identitas diri menurut teori Erik Erikson kan memang terjadi di masa remaja. Around 13-20 tahun mencari jati diri mumetnya. Setelah itu, individu cenderung akan stabil konsep dirinya. Nah tentu akhirnya kan around 20 (tahun) mereka udah bisa punya pilihan, nentuin circle, lebih paham taste music yang akhirnya cenderung lebih stabil tastenya,” kata Zahwa.

Spotify, Apple Music, YouTube Music, dan Tidal hampir sempurna dalam menggunakan algoritma untuk memberikan rekomendasi musik yang sangat akurat dan personal bagi pendengarnya.

Perkembangan teknologi, menurut Zahwa dan Aris juga memiliki andil dalam pembentukan selera musik kita. Platform-platform besar seperti Spotify, Apple Music, YouTube Music, dan Tidal hampir sempurna dalam menggunakan algoritma untuk memberikan rekomendasi musik yang sangat akurat dan personal bagi pendengarnya. Algoritma-algoritma ini mengaburkan batas antara musik yang kita temukan secara alami dan musik yang dipilih secara strategis untuk kita.

Algoritma-algoritma ini jauh lebih mendalam daripada hanya jumlah streaming yang diterima oleh seorang artis atau lagu. Spotify sendiri mengungkapkan bahwa mereka melacak ratusan metrik yang berbeda dari pengalaman mendengarkan pengguna, termasuk: “apa yang kita dengarkan dan kapan, lagu-lagu apa yang kita tambahkan ke playlist, kebiasaan mendengarkan orang dengan selera serupa,” dan banyak lagi. 

Metrik-metrik ini menggantikan peran pembuat keputusan tradisional di industri ini, menentukan lagu mana yang masuk dalam chart, artis mana yang berhasil, dan genre musik yang didengarkan oleh kelompok demografis tertentu. Dan ketika kita menyelami model-model di balik algoritma-algoritma ini, menjadi jelas bagaimana mereka menghasilkan hasil yang begitu akurat. Tapi sebelum algoritma, lingkungan sekitar terutama lingkar pertemanan masih jadi pengaruh utama.

Metrik-metrik menggantikan peran pembuat keputusan tradisional di industri ini, menentukan lagu mana yang masuk dalam chart, artis mana yang berhasil, dan genre musik yang didengarkan oleh kelompok demografis tertentu.

Mei 20 tahun, seorang fresh graduate asal Depok, mengaku terbiasa mendengarkan musik di Youtube Music. “Belakangan aku merasa lebih lengkap karena kalau lagu-lagu yang format video di youtube bisa didengerin dan masuk queue juga. Sama kuketahui kalau youtube ngasih harga yang lebih baik ke musisi dibandingkan spotify,” katanya.

Sebelum punya pacar anak skena, Mei secara umum mendengarkan musik secara mandiri. Ia mengeksplorasi musik-musik etnik dan folk yang ada. “Waktu itu kan awal awal di sastra jawa, aku nyari nyari musisi yang nambahin unsur etinik tapi mantep di konsep dan riset. Rubah di Selatan mengambil perhatianku,” tanya. 

Sebenernya sebelum memiliki pacar, Mei sudah ngulik banyak hal soal musik indonesia. Tapi Ia mengaku memiliki ruang pertemanan yang cukup terbatas, dan karena alasan ekonomi ia jarang menonton konser musik.”Jadi referensiku terbatas pada eksplorasi digital, ditambah ga ada yang ajak aku untuk hadir di komunitas dan pergerakan musik nyah. Pacarku kayaknya menangkap potensi dan ketertarikanku terhadap semua itu sejak kami masih berteman, lalu dia lah yang membawaku ke gig,” katanya.

Sebelum punya pacar anak skena, Mei secara umum mendengarkan musik secara mandiri. Ia mengeksplorasi musik-musik etnik dan folk yang ada

Musik indonesia baru yang Mei dengerin sebulan terakhir masih berkutat di musik-musik dengan jalur distribusi independen. “Aku banyak dengerin band bogor, Texpack dan Swellow (mengikuti arus haha). Tertarik karena mereka pandai bikin lagu, mulai dari aransemen sampai lirik serta relevansinya dengan hidupku yang sering kali demot dan capek kerja,” katanya.

Dalam studi yang diterbitkan di jurnal NeuroImage disebutkan bahwa pembandingan respons otak dan fitur musikal mengungkapkan banyak hal menarik. Para peneliti menemukan bahwa mendengarkan musik melibatkan tidak hanya area auditori di otak tetapi juga melibatkan jaringan saraf dalam skala besar. Area limbik di otak, yang diketahui terkait dengan emosi, juga terlibat dalam pemrosesan ritme dan tonalitas. Pemrosesan timbre (karakter atau kualitas suara atau suara musik yang berbeda dari pitch dan intensitasnya) terkait dengan aktivasi dalam jaringan default mode, yang diasumsikan terkait dengan pikiran yang melamun dan kreativitas.

Temuan akademik dari Deezer dan Universitas York bahwa selera bisa dibentuk dari keluarga, pertemanan, dan algoritma layanan streaming menunjukkan bahwa tak ada yang istimewa atau edgy dari musik yang didengar seseorang. Merujuk pada data dari Billboard, setiap hari ada 100.000 lagu yang dimasukkan ke dalam layanan streaming setiap harinya. Sangat mungkin jika selera musik seseorang berbeda denganmu atau kamu tidak pernah mendengar satu band sebelumnya. Lalu juga ada alasan lain kenapa kamu ga pernah denger band-band ini.

Labelisasi edgy, hipster, skena atau apapun itu terhadap orang yang mendengarkan musik berbeda dengan kita adalah tindakan gegabah dan tidak perlu.

Pertama karena dunia tidak berputar mengelilingimu dan kamu tidak seistimewa itu, mungkin ada baiknya mencari tahu hal yang biasa kamu dengar. Kedua dengan 1,6 juta lagu ditulis setiap tahun dan nyaris setiap bulan ada satu band baru yang terbentuk, jika kita tak bisa mendengar semuanya, ya wajar sekali. Ketiga, kamu cuma mau denger apa yang kamu mau, hanya karena keterbatasan selera dan malas mendengar musik baru ngga bikin selera orang-orang yang denger musik baru jadi invalid, apalagi sampai dilabeli skena. Ini mengapa labelisasi edgy, hipster, skena atau apapun itu terhadap orang yang mendengarkan musik berbeda dengan kita adalah tindakan gegabah dan tidak perlu.

Hal yang bisa kita lakukan untuk menikmati musik adalah mendengarnya, selebihnya jika tak penting amat, cukup disimpan untuk diri sendiri.


Sumber : https://pophariini.com/kenapa-selera-musik-kita-berbeda-apa-yang-bikin-kita-punya-preferensi/ 

 


0 komentar:

Posting Komentar